Rabu, 11 Maret 2009

Di Puncak Mahakam

Hari ini tak seperti biasanya, hanya Fijar yang terlihat murung dibandingkan yang lain. Biasanya ia paling antusias dalam pendakian. Bahkan dipendakian kemarin ia yang menjadi ketua regu pertama.

Hari yang melelahkan setelah seharian mendaki akhirnya mereka sampai ke Mahakam, sambil merasakan sejuknya siang di Mahakam. Potret kehidupan alam yang asri, tak seharusnya dirusak.

Bruuk….

“Berat bawaannya ya? Sudah kubilang kemarin bawalah secukupnya saja”.

”Inginnya seperti itu tapi ini titipan ibuku To”

”Kau beruntung Fi punya ibu yang sangat sayang padamu”.

Fijar membalas dengan senyuman. Kata-kata itu mengingatkannya pada perdebatan kemarin sore dengan ibu. Saat ia mohon untuk diizinkan ke mahakam.

“Ibu takut terjadi apa-apa dengan mu”.

“Ayolah bu, aku sudah sembuh”. Paksa Fijar.

“Iya, tapi….!”

“Sudahlah bu, aku tidak apa-apa”

Sebenarnya kalau saja Fijar sudah sembuh betul, pastilah sang ibu mengizinkan. Sisa operasi kemarin pun masih membekas dikaki kanannya. Itu berawal dari kejadian minggu siang ketika ia pulang dari rumah paman di Patokan, motor mungilnya tersenggol bendi yang melintas tepat di depannya., terperosoklah ia kedalam selokan dekat pinggir ladang jagung pak Syafir, beruntung kejadian itu terlihat oleh pemilik ladang, secepat mungkin berlari menghampiri onggokan tubuh yang tertimpa motor dengan posisi terduduk. Tulang peluru Fijar bergeser. Sebab itu sang ibu mengatakan tidak, saat Fijar memaksa perizinan sang ibu untuk ke Mahakam.

Fijar berjalan kearah pintu tua menuju halaman belakang rumah sambil mengerenyitkan dahi.

Gerimis baru saja mereda, sejenak terhirup bau amis tanah yang menghantarkan aroma alam. Tetap saja tak mengalahkan niat Fijar untuk berangkat.

“Aku janji tidak akan menyusahkan siapa pun”. Memecah kesunyian.

“Ibu tak tahu harus dengan apa melarang mu, ibu tak mau kejadian kakamu terulang kembali”.

“Tapi itu khan musibah bu!”. Bantah Fijar, dengan nada keras.

Sang ibu tertunduk haru, tanpa sadar pipinya sudah sembab dengan linangan air mata, mengingatkan kembali akan kematian Adis anak pertamanya. Mungkin itu juga yang menyebabkan ibu amat protected terhadap Fijar, ia tak ingin kehilangan Fijar.

Perlahan mendekati sang ibu, menatap wajahnya dalam-dalam, mengusap linangan air mata dengan tangan kanan.

”maafkan aku bu, tapi kumohon izinkan aku untuk pergi”.

********

”Hayo... lagi memikirkan apa!”. Kejut Anni sambil menyentuh lembut pundak Fijar. Dengan sedikit terkejut Fijar berdiri.

”Ah kamu mengagetkan saja, aku ingat ibuku”. Jawab Fijar dengan wajah yang sedih.

“Sebelum kesini aku sempat berdebat dengannya kemarin sore. Sebenarnya...... ia tak mengizinkan ku kesini, barang kali masih trauma dengan kematian kakakku ”.

Anni terdiam mendengar penjelasan Fijar.

”Lalu kenapa kau tetap ikut?”.

”Dengan nada terpaksa, akhirnya ibu mengizinkanku. Tapi kalau boleh jujur, masih ada yang mengganjal di hati ini, saat ibu memberikan izin, entah perizinan ini karena setuju atau karena memang ....”. Fijar terdiam.

”karena memang apa?”. Usut Anni dengan penasaran.

”Atau karena memang terpaksa dan sudah mengikhlaskanku”.

Mereka termenung dalam kesunyian alam. Yang terdengar hanya nyanyian burung merdu, diringi syahdunya gemericik anak sungai dan bisikan lembut sang bayu. Anni hadir diwaktu yang tepat saat Fijar ingin mengungkapkan semua isi hatinya.

Dengan suara yang serak. Sembari memegang erat tangan Fijar.

”Kenapa Fi bisa beranggapan seperti itu?, aku yakin ibu mu sangat sayang padamu, dia hanya tak ingin kehilanganmu”. Anni berusaha meyakinkan sahabatnya yang sedang diselimuti kesedihan.

”Sudahlah.....Fi alangkah baiknya sepulang dari sini kau pinta maaf dari ibumu”.

Air mata Fijar tak terbendung lagi, mengalir deras di pipi merahnya, terus mengalir melewati dagu dan membasahi tangan Anni setelah perlahan mengayun dan mendarat di wajah Fijar.

Selama ini memang hanya Anni yang sering diajak diskusi oleh Fijar mengenai permasalahan yang dialaminya. Bahkan tanpa segan Fijar menceritakan masalah pribadinya.

Kedekatan mereka memang sudah cukup lama terjalin. Saking eratnya sampai-sampai satpam kampus tempat mereka kuliah menganggap Fijar dan Anni sebagai saudara kandung. Kedekatan itu pula yang sering kali menghantarkan mereka menjuarai berbagai event karya tulis mahasiswa tingkat nasional. Tidak tanggung-tanggung mereka menyabet tiga kali berturut-turut juara pertama Lomba Karya Tulis Mahasiswa se-Nasional, yang diadakan oleh berbagai universitas dalam negeri. Pahit manis perjalanan kisah mereka tak mungkin tergantikan oleh apapun..

Dari kejauhan.

”Rekan-rekan sekalian, mari kita mulai acaranya. Semuanya berkumpul di sumber suara”.

Teriakan anto terdengar lantang sambil memegang pengeras suara terlihat sangat gagah. Membangunkan semangat para pendaki untuk kembali berdiri.

”Kita gabung dengan mereka, mungkin saja ini bisa menghilangkan kegelisahanmu”.

Mereka pun akhirnya meneruskan kegiatan yang sedang diikuti.


U_By

Tidak ada komentar:

Posting Komentar