Rabu, 11 Maret 2009

Membingkai jiwa entrepreneur sang buah hati


Pada tahun 1970-an, ditengah terik mentari yang panas menyengat, seorang remaja tampak sedang berjualan keliling di sebuah Kereta Api kelas ekonomi. Tak lama, ia merasa kehausan yang tiada terkira. Ia melihat sekelilingnya berharap ada yang menjual air putih, namun ternyata kosong. Yang berjejer hanyalah penjual kopi, susu atau teh manis dengan harga yang diluar batas kewajaran. Dari peristiwa di dalam Kereta Api tersebut, beberapa hari kemudian, ia mencoba menjajakan air putih dalam plastik. Kesana-kemari ia menawarkan air putihnya. Bukan untung yang ia dapat, melainkan beragam tertawaan dan cercaan dari orang sekelililingnya. ”Masak jualan air minum kok air putih, siapa yang mau beli?” celetuk salah satu penumpang. Ia tidak patah semangat. Berkat keuletan dan kesabarannya, air dikantungi plastik itu laku keras. Akhirnya sang penjual mulai memikirkan kemasan dalam botol dengan merek tersebut. Mulailah air minum dalam kemasan terkenal dimana-mana hingga booming seperti sekarang. Siapakah remaja tersebut? Remaja tadi adalah Tirto Utomo, penemu sekaligus pelopor kelahiran air kemasan bermerk, Aqua. Intuisi dan keberaniannya melawan pasar banyak dipuji berbagi kalangan. Tirto Utomo telah memulai wirausaha sejak dini dengan semangat mudanya yang bergelora. Bagaimana dengan sekarang? Belakangan ini cukup banyak lulusan Perguruan Tinggi yang hanya pandai mencari pekerjaan, tapi tidak mampu menciptakan pekerjaan. Mereka jadi bingung dan resah, ketika melamar kerja kesana-kemari namun selalu gagal dan gagal lagi. Hal ini karena para sarjana lulusan perguruan tinggi itu seringkali hanya ingin menjadi pegawai sebuah instansi atau pegawai kantoran, dan tidak terpikirkan untuk terjun ke kancah enterpreneurship. Ramalan beberapa ahli tentang gambaran masa depan dunia yang menuntut munculnya jiwa enterpreneur pada tiap individu tak dapat disangkal lagi. Persaingan global antar bangsa yang tak mengenal batas antar negara menuntut setiap orang untuk kreatif memunculkan ide-ide baru. Maka mempersiapkan anak agar mempunyai jiwa enterpreneur agaknya jadi satu hal yang penting dilakukan oleh orangtua dan lingkungannya. ”Jiwa enterpreneurship perlu kita tanamkan sejak usia dini, agar mereka kelak bisa menjadi wirausahawan yang handal,” demikian ujar Nafik Spd, Direktur The Naff, A Creative and Fun School saat ditemui di ruang kerjanya, Candi, Sidoarjo. Menurutnya, konsep pendidikan kita yang sifatnya doktrinal sejak TK sampai perguruan tinggi adalah biang carut-marutnya kondisi bangsa ini. “Mari kita lihat fakta di lapangan, kelas-kelas di TK kita pada umumnya dirancang dengan kelas-kelas yang pasif, murid duduk dibangku dengan meja berderet penuh sesak, sementara guru akting di depan panggung dengan ceramahnya setiap hari,” kata alumni IKIP Surabaya ini. Nafik menambahkan, yang terjadi dalam sekolah konvensional sekarang, siswa hampir tidak diberi kesempatan untuk bereksplorasi. Siswa terpasung setiap hari dan berlangsung dari TK–SD–SMP–SMA bahkan hingga perguruan tinggi. Anak-anak sama sekali tidak bersalah, tapi mereka tidak berdaya, mereka hanya menjadi korban kebijakan dan ke-sok tahu-an orang dewasa. Jiwa entrepreneur memerlukan motivasi yang bagus, intelegensi yang cukup baik, kreatif, inovatif, dan selalu mencari sesuatu hal yang baru untuk bisa dikembangkan. Sayangnya, menurut Nafik hal-hal tersebut di sekolah kurang mendapat perhatian. Kebanyakan sekolah masih terfokus pada pengembangan kecerdasan intelegensi saja. Contextual Teaching and Learning (CTL) Karenanya, untuk menumbuhkan jiwa entrepreneur, diperlukan konsep yang disebut Contextual Teaching and Learning (CTL). Apa itu CTL? CTL adalah model pembelajaran yang menghasilkan dunia nyata untuk mempermudah pemahaman transfer ilmu. Tujuannya, untuk membuat anak terbiasa dalam mendeskripsikan sesuatu sekaligus sebagai bekal memecahkan masalah. Salah satu karakteristik dari model pembelajaran CTL adalah peserta itu harus mengalami apa yang dia terima dari berbagai teori yang disampaikan oleh gurunya. “Terkait dengan kemampuan entrepreneur, CTL ini juga bisa diterapkan orangtua dengan mengaplikasikan berbagai mata pelajaran yang ada di sekolah dikaitkan dengan berdagang atau ekonomi,” kata Nafik. Nafik mencontohkan, salah satu bentuk CTL adalah pengaplikasian beberapa mata pelajaran yang bisa dikaitkan dengan pengembangan potensi entrepreneur anak. Pertama, Konsep Matematika diaplikasikan melalui transaksi harga, menghitung pengembalian, menghitung diskon, membuat dan mengisi kwitansi atau nota, membuat laporan keuangan, rugi laba, dan neraca. Kedua, Konsep Bahasa (Indonesia & Inggris) diaplikasikan melalui negosiasi, presentasi, menawarkan, membuat proposal, membuat MOU atau surat perjanjian, membuat goalsetting, telephoning system, proses pengiriman dan komunikasi verbal lainnya dengan cara langsung praktek. “Terkait dengan bahasa ini, anak didik harus dibiasakan untuk melakukan percakapan dengan bahasa Inggris, menawarkan barang dengan bahasa Inggris. Saya kira dengan cara ini akan lebih mudah meningkatkan kemampuan bahasa. Anak jadi tak canggung,” tambah Nafik. Ketiga, Konsep IPS atau Ilmu Sosial diaplikasikan melalui interaksi terhadap orang lain yang baru dikenal, membuat pemetaan wilayah, membuat pemetaan target, team work, diskusi, penentuan dan pembagian job deskripsi, sharing keuntungan dan sebagainya. Keempat, Konsep Sains atau IPA atau Seni diaplikasikan melalui perencanaan konstruksi, perancangan model, pembuatan hasil karya, produksi, teknik analisa, pencampuran, pengolahan, dan pengepakan produk. Kelima, Konsep Agama atau Etika diaplikasikan melalui pembentukan mental, pembekalan, kepribadian, teknik dan latihan pengelolaan emosi, kejujuran, dan konsep keyakinan kepada Allah SWT. Aspek merencanakan –usaha-kerja keras–berdoa–tawakkal. “Konsep agama ini begitu sentral dan utama untuk segera diinternalisasi pada jiwa anak-anak. Dengan pemahaman agama yang benar dan mudah dicerna. Sang anak akan berkepribadian mulia,” sambung Nafik lagi. Peran Sentral Orang Tua Pada dasarnya, Nafik mengibaratkan, anak usia TK dan SD ibarat mata air yang selalu mencari tempat yang lebih rendah. Nah, tempat yang rendah versi anak-anak adalah dengan terjun ke dunia yang menyenangkan seperti bermain. Orangtua harus memahami bagaimana mengarahkan mata air tersebut agar tidak terus-menerus mencari tempat yang lebih rendah. Nafik menganjurkan kepada orangtua agar sang anak tidak dipaksa-paksa dalam memilih hobi atau cita-citanya. Jika sang anak hobi dagang, harus terus-menerus di support. Orangtua adalah pihak yang bertanggung jawab penuh dalam proses ini. Anak harus diajarkan untuk memotivasi diri untuk bekerja keras, diberi kesempatan untuk bertanggungjawab atas apa yang dilakukan. Pada usia sekolah misalnya, anak biasanya sudah dapat diajarkan jual beli. Pada tahap ini anak diajarkan untuk mengenal usaha untuk mendapatkan sesuatu atau berbisnis kecil-kecilan. Misalnya, anak bisa diajarkan menjual barang hasil karyanya, seperti, es mambo, kue, dan lain-lain. Syaratnya, tahapan ini bisa dijalankan bila orangtua sudah mengajarkan cara mengelola uang terlebih dahulu. Sehingga anak sudah terbiasa untuk menabung dan mengatur uangnya dengan baik. Dengan demikian uang yang mereka dapat tak segera dihabiskan untuk hal-hal yang tak perlu. Dihubungi di tempat terpisah, Mohammad Arodhi, SPd, Wakil Kepala Sekolah Bagian Kurikulum SD Al Hikmah Surabaya menegaskan bahwa anak, tidak terus-menerus bergantung kepada orangtua dalam mengelola kehidupannya. Maka, kemandirian anak sudah sepatutnya ditanamkan sejak usia dini baik itu oleh orangtua atau guru. “Guru sebagai orangtua anak di sekolah harus memahami betul bagaimana pola pendidikan mandiri,” kata bapak tiga anak ini. Terkait dengan kemandirian anak ini Arodhi mengkisahkan, ada orangtua yang memprotes sekolah hanya gara-gara pengakuan putranya yang menerangkan bahwa sepulang sekolah diminta untuk menata bangku-bangku sekolah. “Sang ibu itu protes, ia mengatakan, anaknya di sekolahkan mahal-mahal tidak untuk dijadikan pembantu. Kemandirian, lanjutnya memang butuh pengorbanan dan ketegaan dari orangtua agar sang anak bisa mandiri menyelesaikan persoalannya,“ pungkas pria 39 tahun ini. Sejak dini, jiwa entrepreneur baik untuk ditanamkan. Inti dari entrepreneurship adalah bagaimana menanamkan cara untuk berusaha, memecahkan permasalahan dan bertanggung jawab penuh atas apa yang dia lakukan. Sangat positif, bukan? (dody) Bingkai II Mulailah Dengan Bisnis Kecil-Kecilan Wirausaha merupakan suatu usaha yang dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan membutuhkan banyak kreativitas. Rasa tanggung jawab dan kreativitas dapat ditumbuhkan sedini mungkin sejak anak mulai berinteraksi dengan orang dewasa. Karenanya, orangtua perlu melatihnya dengan mengajak atau memancing agar anak bisa berbisnis kecil-kecilan agar tanggung jawab itu muncul sejak dini. Mengajari anak berbisnis sangat urgen di zaman sekarang. Pasalnya, menurut Nafik, planet ini sedang ”diserang” oleh generasi yang sangat kreatif dari berbagai negara tetangga. Apabila kita tidak terlibat dalam menyiapkan anak-anak kita sejak sangat dini maka 15-20 tahun yang akan datang mereka akan menjadi bulan-bulanan generasi dari negara tetangga. ”Dan pada akhirnya kita akan hanya menjadi penonton di negeri sendiri, sambil berkata kenapa bukan saya, kenapa orang itu,” tambah Nafik. Nafik mengatakan, mengajari anak memulai bisnis bisa dilakukan dengan barang atau media yang dekat dengan kehidupan anak sehingga mudah untuk melakukannya. Misalnya, anak bisa diajarkan menjual barang hasil karyanya, seperti es mambo, kue, dan lain-lain. ”Dampaknya, anak akan terasah dan terlatih kepekaan membaca peluang yang ada disekitarnya,” kata pria yang juga Trainer Guru dan Anak ini. Ketika bisnis sudah jalan, langkah selanjutnya adalah memberikan arahan membuat pembukuan keuangan atau biasa disebut Personal Financial Report (PFR). PFR adalah laporan keuangan pribadi anak yang dibuat dengan cara dan format yang sangat sederhana dengan harapan anak akan terbiasa mencatat berbagai hal yang terkait dengan keuangan. Untuk itu perlu adanya form pencatatan yang standar semacam jurnal. Hanya saja, kata Nafik, hambatan-hambatan pasti akan selalu menyertai. Hambatan yang akan muncul umumnya dari diri orangtua yang kurang disiplin dalam memotivasi dan mengevaluasi aktivitas anak, dan cemoohan dari kawan, tetangga dan orang yang menganggap upaya kita itu adalah aneh, ngrepotin, dan lain-lain. Tips Merangsang Anak Gemar Berbisnis : 1. Anak-anak harus dirangsang bagaimana bisa melihat peluang dan ada nilai manfaatnya. Misalnya, ketika dia belajar. Memberi tugas mandiri, mengajak anak mengkliping sesuatu yang ia amati dan ditulis. Anak dilatih agar peka dan bisa diambil manfaatnya. Akhirnya ia mendapatkan sesuatu yang bisa dibisniskan. 2. Anak-anak diajak berimajinasi jika berbisnis jadi pengusaha sukses, punya uang banyak, bisa liburan ke luar negeri dan tempat-tempat eksotis, atau tak perlu memikirkan pekerjaan lagi karena sudah punya banyak uang 3. Mulailah membuat rencana bertahap terhadap buah hati Anda. Buatlah kondisi dari nol dengan satu syarat, selalu melihat ke depan. Misalnya, tak punya uang tapi punya modal kemampuan. Jika punya uang Rp 50 ribu dan pintar dagang, apa yang akan dilakukan agar bisa menghasilkan lebih. Lakukan bertahap, perlahan, sesuai kemampuan sang anak. Jika dilakukan dengan benar, lambat laun keuntungan akan mengikuti anak Anda. 4. Buat anggaran-anggaran khusus. Sebagai orangtua, buatlah anggaran pengeluaran dan pemasukan dengan rapi sebagi modal anak Anda.(dody)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar