Rabu, 11 Maret 2009

Jiwa Humanis Dalam Pendidikan Kritis

PUNCAK tujuan dari setiap individu manusia sejatinya adalah humanisasi atau menjadi lebih humanis. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia senantiasa melacak dan menggali potensinya melalui proses kontinyu yang dinamakan dengan belajar. Sayangnya proses tersebut selalu disederhanakan dengan belajar formal, yakni sekolah dari TK, SD, SMP, SMA, dan akan berhenti sampai di bangku perguruan tinggi. Konsep belajar sepanjang hayat telah berubah menjadi belajar sampai sarjana.

Tanpa kita sadari sesungguhnya pendidikan yang terbatas pada ruang segi empat (baca: kelas) itu telah mereduksi sisi kemanusiaan kita (dehumanisasi). Pendidikan telah menjadi arena pemaksaan untuk mempelajari konsep-konsep ilmu yang sangat banyak, yang mungkin sudah out-off-date, dan tidak ada kaitan langsung dengan kehidupan peserta didik. Pendidikan hanya menjadikan individu-individu untuk beradaptasi dengan lingkungannya, bukan merubah realitas yang ada. Maka tidaklah mengherankan jika kita seringkali mendengar istilah: sulit menjadi orang baik di lingkungan tidak baik. Hal ini sesungguhnya mengindikasikan bahwa ada keengganan untuk mengubah keadaan yang ada (sistem), tetapi sebisa mungkin menyesuaikan dengan sistem yang ada. Jika hal ini berjalan terus-menerus maka tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa akan menjadi cita-cita yang menggantung di langit, tidak membumi, dan tidak pernah tercapai.

Pendidikan Kritis

Paulo Freire, pedagogik kritis asal Brazil telah menggagas pentingnya pendidikan kritis melalui proses penyadaran (konsientisasi). Yaitu upaya penyadaran terhadap sistem pendidikan yang menindas yang menjadikan masyarakat mengalami dehumanisasi. Pendidikan diharapkan mampu mendekonstruksi kenyataan sosial, ekonomi, dan politik bahkan agama serta merekonstruksi untuk menyelesaikan pelbagai problem masyarakat. Dengan demikian pendidikan akan menjadi problem solver, bukan malah menjadi part of problem.

Membangun pendidikan kritis melalui upaya penyadaran (konsientisasi) sebagaimana yang ditawarkan oleh Freire tidaklah mudah. Untuk itu diperlukan strategi dan langkah-langkah untuk mencapainya. Pertama adalah memperbaiki konsep kurikulum lembaga keguruan sebagai pencetak calon guru. Lembaga ini harus mampu menghasilkan calon guru yang mampu menganalisis kurikulum untuk dikaitkan langsung dengan problem kehidupan yang ada, menjadi fasilitator, motivator, dan administrator. Kecenderungan yang ada selama ini adalah terbatasnya kualitas lulusan pada kemampuan sebagai administrator, sehingga guru kurang berhasil memerankan peranan sebagai fasilitator dan motivator yang baik.

Kedua adalah mengubah proses pembelajaran dari pedagogik ke andragogik. Pembelajaran yang bercorak pedagogik hanya akan menghasilkan budaya bisu (the cultural of silence). Peserta didik hanya diposisikan sebagai obyek yang harus menuruti kemauan guru. Dengan pembelajaran yang bercorak andragogik maka peserta didik menjadi mitra belajar bagi guru itu sendiri. Guru dan peserta didik menjadi sama-sama belajar, ada keharmonisan dan kehangatan dalam belajar karena keduanya merasa di”manusiakan”. Pembelajaran andragogik juga menekankan pada problem solver sehingga teori yang diajarkan akan menjadi pisau analisis terhadap realitas yang ada, bukannya terbatas sebagai alat untuk menjawab soal dalam ujian.

Ketiga adalah mengoptimalkan kurikulum lokal. Kurikulum lokal yang selama ini diterjemahkan dengan muatan lokal harus benar-benar diberdayakan. Selama ini kurikulum lokal diposisikan sebagai pelengkap derita dan tidak dimanfaatkan untuk dijadikan sebagai sebuah keunggulan. Mestinya kurikulum lokal benar-benar menjadi branch image setiap sekolah di wilayah tertentu sehingga memperkaya keilmuan yang ada sekaligus konservasi terhadap keunikan-keunikan lokal, dan sebagai bentuk perimbangan terhadap globalisasi yang semakin liar.

Pendidikan Berbasis Entrepreneur

Schumpeter, sebagaimana dikutip Bygrave (1996) dalam Entrepreneurship, mengatakan seorang wirausahawan adalah individu yang memperoleh peluang dan menciptakan organisasi untuk mengejarnya (mengejar peluang). Sedangkan Drucker (1996), mengatakan bahwa wirausaha selalu mencari perubahan, menanggapinya, dan memanfaatkannya sebagai peluang. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa seorang entrepreneur adalah pribadi yang mencintai perubahan, karena dalam perubahan tersebut peluang selalu ada. Ia akan selalu mengejar peluang tersebut dengan cara menyusun suatu organisasi.

Oleh Karena itu, jika pendidikan memiliki misi melaksanakan pendidikan wirausahawan, maka sudah selayaknya kurikulum dan strategi pembelajarannya mengalami perubahan dan penyesuaian. Melihat karakter wirausahawan di atas, kelihatannya sulit pembentukan wirausahawan tercapai, manakala proses pembelajarannya tetap mempergunakan strategi “klasik”.

Menurut Scharg et. al. (1987) wirausahawan merupakan hasil belajar. Meskipun jiwa wirausahawan mungkin juga diperoleh sejak lahir (bakat), namun jika tidak diasah melalui belajar dan dimotivasi dalam proses pembelajaran, sulit dapat diwujudkan. Untuk mempertajam minat dan kemampuan wirausahawan perlu ditumbuh-kembangkan melalui proses pembelajaran. Di sinilah letak dan pentingnya pendidikan wirausahawan dalam pendidikan.

Jika seorang pendidik menginginkan menumbuhkan sikap peserta didik, sudah seharusnya mengetahui bakat yang ada pada peserta didik, keinginan peserta didik, nilai dan pengetahuan yang seharusnya didapat pesera didik, serta lingkungan lain yang kondusif bagi penumbuhan sikap mereka, termasuk lingkungan politik. Keadaan ini sulit dilakukan, tetapi harus diusahakan. Jika kita ingin pendidikan berkembang dan bermanfaat bagi masyarakat, maka kita tidak boleh diam. Apapun hasilnya, pendidik harus berusaha melakukan inovasi proses pendidikan. Perlu disadari, bahwa segala sesuatu membutuhkan proses yang cukup panjang untuk mencapai suatu keberhasilan.

Implikasinya dalam Kehidupan Nyata

Melihat uraian singkat tentang konsep pendidikan kritis dan mental wirausaha di atas, maka kita dapat mendesain model pendidikan masa depan yang lebih “produktif”. Pendidikan kritis sangat diperlukan agar setiap manusia mengenal kediriannya, humanis, tidak kerdil, dan reaktif terhadap perubahan yang terus-menerus. Membangun pendidikan kritis adalah tanggung jawab bersama seluruh stakeholder pendidikan. Dengan kata lain, jika dipahami dari konsep tersebut, maka sudah seharusnya pendidikan di Indonesia dapat berperan sebagai problem solver dengan dibarengi mental wirausaha yang terpatri dalam diri. Artinya, peserta didik dibekali dengan pelbagai disiplin keilmuan yang mumpuni yang dapat dijadikan “modal” untuk menyelesaikan beberapa permasalahan yang muncul dan berkembang di masyarakat. Selain itu, dengan jiwa wirausahanya peserta didik akan selalu melakukan pembaharuan dan inovasi secara dinamis di masyarakat. Walhasil, perjalanan dalam kehidupan masyarakat akan terus mengalami perkembangan-perkembangan (yang positif) tanpa meninggalkan jiwa kekritisan yang telah dibentuk melalui proses pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar